Sejarah Desa

Asal usul desa Mangliawan pada tahun 813 saka / 891 Masehi ditemukan prasasti Balingawan dari areal prasasti ditemukan banyak situs bekas candi di tengah makam desa, perbatasan di sisi tenggara diperkirakan berada disekitar Desa Madyopuro terdapat makam Kanjeng Surgi dan sebelah utaranya ditemukan makam Mbah Joko Lelono Senopati Ambarowo (Eyang Ahmad Sari) disebelahnya lagi ditemukannya makam Mbah Kabul. Posisi Balingawan yang sekarang disebut juga Desa Mangliawan pada poros Malang-Tumpang tepatnya di Kecamatan Pakis yang diketahui memiliki kepadatan tinggalan Arkeologi yang cukup tinggi sangat mendukung keberadaanya sebagai Desa Kuno selain itu dilokasi desa ini juga ditemukan tinggalan Ikonografi yang cukup banyak antara lain yang tersimpan di desa Taman Rekreasi Wendit dan di areal makam kramatan desa Mangliawan.

Desa Balingawan disebut juga Desa Mangliawan juga dikenal dengan makam kramatan yang juga sering dikunjungi para pejabat mulai dari pejabat desa sampai pejabat tinggi disamping itu Desa Mangliawan memiliki Air Sendang Widodaren yang pertama kali digunakan oleh pendiri kerajaan Mojopahit (Raden Wijaya) digunakan untuk sebagai tempat bercinta dengan selirnya. Dengan ditemukan sendang ini ketika kerjaan Singgosari mulai terpuruk Raden Wijaya menerima petunjuk dari hasil bertapa bahwa air sendang widodaren memiliki kekuatan dahsyat untuk menaklukan kerajaan Singgosari, keberadaan air tersebut berada di tempat hilangnya pelangi setelah turun hujan. Kemudian Raden Wijaya mengutus Mbah Kabul yang makamnya di areal sendang widodaren untuk mencari air itu, air sendang widodaren yang berpangkal dari Gunung Bromo yang oleh warga Tengger biasanya diambil ketika mengadakan upacara Tirtoaji / pada musim tanam mengambil dari air sendang ini dengan tujuan agar tanaman dan ladangnya mendapat tanaman yang subur dan hasilnya berlimpah ruah.

Pada bagian akhir pada desa juga memilik bagian yang lebih kecil yang disebut dukuh, dusun atau kampung. Desa Mangliawan terdiri dari kampung Wendit yang artinya banyak pendeta, Kampung Lowoksuruh yang artinya banyak pepohonan atau banyak tumbuh tanaman suruh yang sekarang masih banyak dijumpai oleh para sesepuh untuk bahan kinang, Kampung Jabon yang artinya banyak ditumbuhi pohon Jabon dan Kampung Nduyo yang artinya pada zaman dahulu banyak orang berbondong-bondong (Ndoyo-ndoyo dalam bahasa jawa) untuk pindah dari daerah Cemorokandang ke daerah Bangliawan atau disebut Mangliawan atau sekarang disebut dengan Dusun Kedoyo. Khusus di Kampung Wendit ada sebuah Kerajaan Kera yang dipimpin oleh kera putih  / Anoman yang sampai sekarang masih ada dan sebagai tempat wisata yaitu Pemandian Wendit sekarang menjadi Wisata Pemandian Air Wendit.

Sedangkan Hanoman / Anoman adalah tokoh antar jaman dan dipuja sebagai Dewa pelindung yang merupakan kera berbulu putih, Ibunya adalah Dewi Anjani, sedangkan ayahnya adalah Batara Guru. Pada saat Ramawijaya mengerahkan bala tentara kera menyerbu Kerajaan Alengka untuk membebaskan Dewi Sinta yang diculik Prabu Dasamuka, Anoman bertindak sebagai salah satu senopati dalam sejarah pewayangan. Dalam kaitannya dengan pemerintahan desa, Anoman digambarkan sebagai contoh pimpinan / tokoh yang bisa melindungi, mengayomi rakyatnya dan bisa menyelesaikan tugas dengan baik.